Selasa, 29 November 2016

KISAH KA'AB BIN MALIK : 'ABSENT' DARI PERANG TABUK



Di saat kesibukan melanda, tidak sempat untuk membuka buku-buku sirah, apa yang dapat dilakukan ialah dengan mengambil jalan mudah, bertanya kepada Mr.Google.. untuk mencari bahan tugasan usrah berkenaan tajuk Perang Tabuk. Dalam banyak-banyak search, hati tertarik dan tersentuh dengan satu tulisan yang agak berbeza cara penceritaannya, seolah-olah kita hidup di dalam kisahnya.

Semoga kita mendapat iktibar dari kisah ini…


Kisah Ka’ab bin Malik dalam peristiwa Perang Tabuk

“Aku sama sekali tidak pernah gagal mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah SAW, kecuali dalam Perang Tabuk. Sebab aku tidak ikut serta dalam Perang Tabuk itu adalah kerana kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia.."

Ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memilikinya.

Sungguh, tidak pernah Rasulullah SAW merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahsiakan hal itu, kecuali pada Perang Tabuk ini.

Peperangan ini, Rasulullah SAW lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan gagah.

Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang telah diketahui. Rasulullah SAW sedang bersedia mempersiapkan pasukan yang akan berangkat.

Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul fikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati,
“Aku boleh melakukannya kalau aku mahu!”  Akhirnya, aku terbawa oleh fikiranku yang ragu-ragu, hingga aku melihat para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.

Maka timbul fikiranku untuk mengejar mereka, alang-alang mereka belum jauh.  Namun, aku tidak melakukannya..kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku. Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah SAW meninggalkan Madinah.

Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keterasingan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya.  Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izin Allah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.

Setibanya di sana, ketika baginda Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, baginda bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?” Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, dia ujub pada keadaan dan dirinya!”
Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”

Rasulullah SAW hanya terdiam saja.

Beberapa waktu telah berlalu, aku mendengar Rasulullah SAW kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam fikiranku pelbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah SAW, bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya?

Aku minta pendapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berfikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi SAW segera tiba di Madinah, lenyaplah semua fikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahawa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah SAW dan mengatakan yang sebenarnya.

Pagi-pagi, Rasulullah SAW memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau baginda kembali dari suatu perjalanan, pertama baginda akan masuk ke masjid dan solat dua rakaat.  Demikian pula usai dari Tabuk..selesai solat baginda kemudian duduk melayani tetamu yang mengunjungnya. Lantas, datanglah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselangi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira lapan puluh orang. Rasulullah SAW menerima alasan lahir mereka dan mereka pun memperbaharui baiah setia mereka. Baginda memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah.

Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada baginda.
Baginda membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahawa senyuman baginda memendam rasa marah.

Baginda kemudian berkata, “Ke marilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya.
Baginda tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiah kesetiaanmu?”

Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan pelbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sedar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khuatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian kerana itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku”. “Ya Rasululah SAW, demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil dibanding tatkala aku tidak mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”

Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau nampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!” Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah SAW untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.

Aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawapannya sama dengan apa yang kau perbuat.
Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!” Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang soleh yang pernah ikut dalam perang Badar dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.

Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara lapan puluh orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami memencilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rakanku itu berdiam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka.

Aku keluar untuk solat jamaah dan keluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mahu berbicara denganku atau melayan bicaraku. Aku juga datang ke majlis Rasulullah SAW sesudah beliau solat. Aku mengucapkan salam kepada baginda, sambil hati kecilku bertanya-tanya, memperhatikan bibir baginda, “Apakah baginda menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga solat dekat sekali dengan baginda.  Aku mencuri pandang melihat pandangan baginda.
Kalau aku bangkit mahu solat, baginda melihat kepadaku.  Namun, apabila aku melihat kepadanya,
baginda palingkan mukanya cepat-cepat.  Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali.

Pada suatu hari, aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah, saudara iparku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai.
Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurnya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia diam.
Aku mengulangi permohonanku itu, namun dia tetap terdiam.
Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam.
Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahan lagi.
Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.

Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah.  Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam.  Orang itu biasanya menghantar dagangan ke kota Madinah.  Ia bertanya, “Siapakah yang mahu menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepadaku, lalu orang itu datang kepadaku.. dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan.
Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu.  Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna.  Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan,
kami akan menghiburmu!”

Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampung halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah SAW menyampaikan pesannya,
“Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi isterimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama.
Aku langsung memerintahkan kepada isteriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”

Isteri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah SAW lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula dia tidak memiliki seorang pembantu.
Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak! Akan tetapi dia tidak boleh mendekatimu!”
Isteri Hilal menjelaskan,
“Ya Rasulullah! Dia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi.
Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”

Ada seorang ahli keluargaku yang juga mengusulkan,
“Cuba minta izin kepada Rasulullah supaya isterimu melayani dirimu seperti halnya isteri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah SAW tentang isteriku.
Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”

Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam.

Pada waktu sedang solat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50, ketika aku sedang duduk berzikir meminta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini..  Tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku.

Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!
Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu, aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah.
Aku yakin, pembebasan hukuman telah dikeluarkan.
Aku yakin, Allah telah menurunkan keampunan-Nya.
Rasulullah SAW menyampaikan berita itu kepada sahabat-sahabatnya seusai solat subuh bahawa
Allah telah mengampuni aku dan dua orang sahabatku. Berlumba-lumbalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu.
Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda.
Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki.
Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu. Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah SAW.
Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku.
Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thalhah.
Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan.

Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasulullah SAW.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah SAW.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh terharu dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)

karmila : Sirah sebagai satu pengajaran. Ujian yang dihadapi sebagai satu tarbiyah dari Allah. Hukuman bukanlah beerti noktah kepada perjuangan, bahkan ia berupaya membangunkan jiwa yang kental dan terus istiqamah demi menggapai redha Allah dan Rasul-Nya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan